METODOLOGI PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD RASYID RIDHA DALAM TAFSIR AL-MANAR

METODOLOGI PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD RASYID RIDHA DALAM TAFSIR AL-MANAR

Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa dunia Islam mengalami pasang surut kejayaannya. Pasca runtuhnya Kesultanan Turki Usmani, dunia Islam mengalami perubahan yang sangat drastic. Perubahan ini tidak terlepas dari factor sosio cultural yang dialami oleh umat islam pada masanya. Selain berimbas pada perkembangan Islam sebagai ajaran agama, juga berimbas pada revolusi pemikiran para tokoh Islam.

Munculnya para pemikir Islam dalam suasana akultursi budaya antara timur dan barat, menyebabkan arah dan paradigma berpikirnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat yang rasionalis. Namun demikian, bukan berarti bahwa para pemikir Islam scripturalis sudah tidak eksis lagi.
Pertemuan budaya timur dan barat dalam dunia Islam juga berimbas pada corak penafsiran para mufassir pada masa itu. Salah satu factor yang mengakibatkan perkawinan tradisi keilmuan Timur dan Barat adalah perpindahan pusat keilmuan yang pada awalnya berada di Negara-negara Islam, setelah runtuhnya kejayaan islam pusat keilmuan itu berpindah ke Barat. Hal tersebut sedikitnya memaksa umat Islam untuk memalingkan arah kiblat keilmuan ke barat yang cenderung rasionalis.

Berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual Muhammad Abduh terhadap interpretasi Al-Quran yang dilakukan oleh mufassir sebelumnya, dan suasana belajar yang dialami oleh yang cenderung doktriner, telah menggugah keinginan Abduh untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman yang dialaminya.
Tidak bisa disanggah lagi, bahwa kondisi sosio histories dan politis di mana s

eorang mufassir hidup akan mempengaruhi nalar berfikir dan interperetasinya terhadap Al-Qur’an.

1. Tentang Tafsir Al-Manar
Tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat studi Al-Quran. Al-Manar adalah salah satub kitab tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Quran –yakni membawa petunjuk dalam kehidupan- kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.1

Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syeikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain terutama Muhammad Mutafa Al-Maraghi.2

Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.3
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh. Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha – yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh — yaitu: Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw; dan Kedua, banyak menukil pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, karena ia menilai bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata pikiran dan hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an.4

Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan perspektif al-Qur’an.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peletak dasar tafsir Al-Manar adalah Syaikh Muhammad Abduh, kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya. Salah seorang murid Abduh yang concern dalam pengembangan tafsri Al-Manar adalah Muhammad Rasyid Ridha. Namun, di dalam kesamaan corak penafsirannya, terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.

2. Muhammad Abduh.

Boigrafi:
Syaikh Muhammad Abduh adalah: Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.5

Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga yang terkenal berpegang teguh kepada Ilmu dan Agama. Ayah Muhammad Abduh memiliki dua orang isteri. Muhammad Abduh muda merasakan sejak dini sulitnya hidup dalam keluarga poligami. Hal ini juga menjadi pokok persoalan yang dia sampaikan dengan sangat yakin di kemudian hari ketika dia menegaskan perlunya pembaruan keluarga dan hak-hak wanita. Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun dia rajin membaca Al-Qur’an, sampai hapal. Salah seorang penulis biografinya mencatat bahwa, karena tidak belajar di lingkungan sekolah Al-Quran, Abduh tidak merasakan hal yang dialami orang yang hapal Al-Quran, seperti eagu-ragu ketika menyampaikan kuliah atau megutip Al-Quran.6

Muhammad Abduh hidup dalam keluarga petani pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.7 Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah serta ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain dan memaksanya untuk kembali serta dikawinkan dalam usia yang sangat muda, pada saat berusia 16 tahun, pada tahun 1865.8

Abduh adalah seorang sarjana, pendidik, mufti, ‘alim, teolog dan pembaru. Dia controversial dalam konteks operasinya. Dia terus berpengaruh kepada murid-muridnya maupun paa mereka yang menganggap komprominya dengan Barat sudah terlalu jauh. Dalam banyak hal, dia mencerminkan khidupan dan komitmen Abu Hamid Al-Ghazali. Ajarnnya sangat mengingatkan orang akan ajaran Al-ghazali.9

Latar Pendidikan Muhammad Abduh
Lembaga pertama yang dikenalkan ayah Abduh untuk belajar di luar rumah adalah Masjid Ahmadi di Thanta, Mesir. Pada waktu itu Abduh berusia tiga belas tahun. Tujuan Abduh dikirim ke Masjid Ahmadi adalah untuk belajar Tajwid Al-Quran.. alasan utama dipilihnya Masjid Ahmadi adalah karena Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah Universitas Al-Azhar, dari segi tempat belajar Al-Quran dan menghapalnya.10

Karena merasa tidak puas dengan materi yang diberikan dan suasana yang tidak menyenangkan, Abduh meninggalkan bangku pendidikannya dan lebih memilik untuk kembali ke desanya dan bersama saudara-saudaranya menggarap lahan pertanian. Meskipun ayahnya memaksanya untuk kembali belajar di Masjid Ahmadi, dia bertekad untuk tidak kembali ke dalam kehidupan akademis.

Kemudian, Abduh pergi ke desa Syibral Khit, dimana di situ tinggal beberapa pamannya dari pihak ayahnya.11 Di sinilah Abduh bertemu dengan pamannya Syaikh Darwisy Khadr. Sufi dari tarekat Syadzili ini mampu mengobarkan kembali antusiasme Abduh terhadap ilmu dan agama. Syaikh ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan moral serta praktek kezuhudan tarekatnya.12 Pertemuan dan interaksinya dengan Syaikh Darwisy inilah yang mewarnai pengetahuan dan pengalaman Abduh dalam bidang tasawuf. Meskipun tidak lama, namun pengaruh Syaikh yang itu sangat membekas dalam kehidupan ruhaniah seorang Muhammad Abduh, walaupun kemudian Abduh meninggalkan kehidupan zuhudnya atas desakan Syaikh Darwisy.
Selanjutnya pada tahun 1866, Muhammad Abduh meninggalkan anak dan istrinya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Namun, Abduh kembali menlan kekecewaan. Kejadian ketika beliau belajar di Masjid Ahmadi, kembali terulang. Abduh kembali menemukan sikap suka menonjolkan ilmu dan penghapalan di luar kepala tanpa memahami seperti yang ia dapatkan di Thanta.13

Abduh mengatakan bahwa kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkna mereka kepada usaha penelitian, perbandingan, dan perntarjihan.14 Namun demikian, di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:

  1. Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibni Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Al-Azhar pada waktu itu.
  2. Muhammad Al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.15

Abduh merupakan murid Afghani yang paling penting di antara beberapa orang Mesir yang menjadi muridnya. Abduh dipengaruhi, antara lain, oleh ajaran Afghani ketika di Mesir, yaitu tentang filsafat Islam rasionalis, dan juga kerana Afghani menggunakan argument yang berbeda untuk kaum elite dan kaum kebanyakan. Sangat mungkin juga, bahwa Abduh memilih teologi rasionalis Mu’tazilah karena pengaruh Afghani.16 Teologi ini menekankan pada hal-hal seperti keadilan, dan kepercayaan bahwa Tuhan wajib bertindak adil. Sedangkan teologi yang dominant di kalangan kaum Sunni percaya bahwa Tuhan, karena mahakuasa, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dan bahwa apa saja yang dilakukan-Nya, adalah adil.17 Selain itu, kaum Mu’tazilah percaya pada kehendak bebas. Hal seperti inilah yang menjadi sikap kaum modernis seperti Abduh.

Corak Penafsiran Muhammad Abduh
Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Al-Quran. Dr. Abdul-Hay Al-Faramawi, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat: analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topic). Metode analisis tersebut bermaccam-macam coraknya, salah satunya adalah corak adabi ijtima’I (budaya kemasyarakatan).18 Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan.19 Tokoh utama dan peletak dasar corak penafsiran ini adalah Muhammad Abduh.

Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Abduh.
Dalam menafsirkan Al-Quran, ada beberapa ciri yang menonjol dan khas yang terungkap dalam penafsiran Muhammad Abduh:

  1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Dari pandangan ini, Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat lain, dalam satu surah. Menurut Abduh, pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surah tadi secara keseluruhan.
  2. Ayat-Al-Qur’an bersifat umum. Cirri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk ayat-ayat Al-Quran berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu.
  3. Al-Qur’an adalah sumber Aqidah dan Hukum. Dalam hal ini, Abduh menginginkan Al-Quran menjadi sumber sandaran segala madzhab dan pandangan keagamaan; bukannya madzhab tersebut dijadikan sebagai pokok, dan Al-Quran dejadikan pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut.
  4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Abduh, berdasarkan pandangan dan keyakinannya bahwa wahyu dan akal tidak akan bertentangan, menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat Al-Quran. Penafsiran-penafsirannya menyangkut ayat, akidan dan syaria’ah, mencerminkan cirri ini.
  5. Menentang dan memberantas taqlid. Muhammad Abduh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membuktikan bahwa Al-Quran memrintahkan umatnya untuk menggunakan akal mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat-pemdapat tersebut dikemukakan oleh orang-orang yang seyogianya paling dihormati dan dipercaya, tanpa mengetahui hujjah-hujjah yang menggunakan pendapat tersebut.
  6. Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Quran. Dalam merinci persoalan yang hanya disinggung sepintas seperti ‘sapi’ dalam Al-Baqarah 67, Abduh tidak menempuh cara-cara seperti para mufassir sebelumnya, karena ia berpendapat bahwa tujuan utama dari diuraikannya ayat-ayat yang menyinggung hal-hal seperti itu dapat dicapai tanpa harus merinci dan menjelaskan arti lafal/redaksi-redaksi tersebut.
  7. Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi.
  8. Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak israiliyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat, apalagi jika pendapat sahabat itu berbeda satu dengan yang lain.
  9. Mangaitkan penafsiran Al-Quran dengan kehidupan sosial.

3. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

Biografi
Sayyid Muhamad Rasyid Ridha dilahirkan pada tahun 1282 (1865 H.) di Qalamun, Tripoli yang terletak di kilometer 90 sebelah Utara Beirut, Libanon.20 Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.21

Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.; Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh.22

Salah seorang kakek Rasyid Ridha bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara’ sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyid Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad al-Adawi :
“Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara.”23

Latar Belakang Pendidikan
Selain belajar pada orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha juga belajar pada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-kuttab; di sana ia diajarkan membaca Al-Qur’an , menulis dan dasar-dasar berhitung.24

Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli ( Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniah.25

Ridha tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah ke sekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.26

Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyid Ridha juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah yang ahli dibidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia digelari “Voltair”-nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama. (Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M ).27

Ridha juga belajar dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadis Nailul Authar ( sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah ), al-Ustad Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi dan Ridha selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushul dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita : Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun.; Tidak itu saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata : Aku tadinya menganggap saudaraku Rasyid adalah seorang Nabi. Tetapi ketika aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat luas, ia memanfaatkannya untuk memberikan pengarahaan dan petunjuk kepada para sahabatnya. Dalam kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi di kawasan negara tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalui surat kabar dan majalah. Dia begitu tertarik dan terkesan kepada majalah al-Urwah al-Wusqa yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh. Pertemuan dengan kedua tokoh itu sangat didambakan dan dirindukannya, tapi ia begitu menyesal karena ia sendiri tak dapat bertemu dengan Jamaluddin al-Afgani sebab tokoh ini terburu meninggal dunia sebelum ia dapat menemuinya. Akhirnya Rasyid Ridha berusaha menemui muridnya Syaikh Muhammad Abduh dan langsung berangkat ke Mesir pada tahun 1879 M.

Pertemuan antara Murid dan Guru : Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh
Kekaguman Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh, bermula dari interaksi Ridha dengan Majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa’, majalah yang diterbitkan oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris. Tulisan-tulisan kedua pembaharu tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar kepada Rasyid Ridha, sehingga mampu merubahnya dari pemuda sufi menjadi menjadi pemuda yang penuh semangat.

Jika selama ini Rasyid Ridha hanya berusaha untuk memperbaiki aqidah dan syari’ah serta mengajak masyarakatnya untuk menjauhi kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka setelah mendapatkan pengaruh dari majalah tersebut merubah mindset Ridha, dan berusaha untuk membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela Negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.28

Pada bulan Rajab 1315 H. (1898 M) dia berhasil untuk menemui Syaikh Muhammad Abduh seorang pejuang dan ilmuan yang sangat diharapkan ilmu dan nasihat-nasihatnya. Usul dan saran pertama yang ditujukan Rasyid Ridha kepada Syikh Muhammad Abduh adalah agar ia menulis tafsir Al-Qur’an dengan metode yang digunakan dalam penulisannya di majalah al-Urwah al-Wustqa. Setelah kedua orang ulama itu berdialog akhirnya Syaikh Muhammad Abduh bersedia memberikan kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada murid-muridnya.

Rasyid Ridha adalah termasuk orang paling tekun mengikuti pelajarannya, sehingga tak pernah libur dari seluruh kegiatan yang diadakan oleh Jami’al-Azhar itu. Maka ditulisnya semua apa yang telah didengarnya serta diadakan beberapa tambahan keterangan bagi masalah yang menurut Rasyid Ridha perlu diterangkan. Dalam penulisannya dia selalu mengadakan konsultasi dengan gurunya, hingga semua tulisannya telah diadakan koreksi dan pembetulan seperlunya. Oleh karena itu pantas jika ia disebut sebagai pewaris pertama yang menerima ilmu Syaikh Muhammad Abduh, sebab ia adalah orang yang paling banyak menerima dan menulis pelajaran dari gurunya, baik ketika Muhammad Abduh masih hidup maupun sesudah wafatnya. Dalam penulisannya, ia tidak pernah menyimpang dari metode yang ditempuh oleh gurunya, dan tidak pula menyimpang dari jalan pikirannya. Oleh karena itu, Syaikh Muhamad Abduh berkata: ‘pemilik al-Manar adalah penerjemah pikiran saya”, dan salah seorang dari murid Rasyid Ridha berkata: Imam Muhammad Abduh pernah mengomentari sifat Rasyid Ridha, bahwa dia telah menyatu dengan Muhammad Abduh dalam ‘akidah, pikiran, pendapat, akhlak dan amalnya. Setelah Muhammad Abduh wafat, dia kembali ke Damaskus pada tahun 1908 M, tetapi tak lama setelah itu dia meninggalkan kota Damaskus dan kembali lagi ke Mesir serta mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Kemudian ia melanjutkan ke Suriyah dan di sana dia terpilih sebagai ketua Muktamar Suriyah. Pada Tahun 1920 M. dia kembali lagi ke Mesir dan waktu itu dia sempat berkunjung ke India, Hijaz dan Eropa, dan akhirnya menetap selamanya di Mesir sambil meneruskan perjuangannya di Kairo. Pada tahun 1935 M. Rasyid Ridha wafat dan dimakamkan di Kairo.29

Corak Penafsiran Rasyid Ridha
Mengenai metode yang dipakainya dalam penafsiran banyak persamaan dengan metode Muhammad Abduh. Dalam penafsirannya, ia tidak terikat pada mufassir lain, tidak harus menyesuaikan makna nash Al-Qur’an dengan akidah atau pendapatnya sendiri, tidak pula menggunakan hadis-hadis palsu, tidak menggunakan cerita-cerita Israiliyat, ayat-ayat mubham tidak pernah ditentukan maknanya, dan menghindarkan diri dari istilah-istilah ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya dia selalu berusaha dengan keras mengungkapkan makna Al-Qur’an dengan susunan bahasa yang mudah diterima, menjelaskan kesulitan-kesulitannya, membela al-Qur’an dengan menghilangkan keraguan terhadapnya, menerangkan hidayah dan hikmahnya serta berusaha memecahkan problem kemasyarakatan secara metodis.
Dalam penafsirannya dia sependapat dengan Muhammad Abduh dalam menggunakan kebebasan berpikir yang luas, sehingga mampu mengutarakan pendapat dan pemahamannya dengan penuh kepercayaan yang tinggi terhadap ilmu yang dimilikinya, dan tidak mudah terpengaruh oleh sebagian penafsiran para mufassir lainnya. Oleh karena itulah sering ditemukan pemikiran dan paham yang terasa asing dalam penafsirannya, tapi kadang-kadang dalam beberapa hal bertaklid kepada gurunya Syaikh Muhammad Abduh.

Setelah Muhammad Abduh wafat, dia banyak menyimpang dari metode yang ditempuh oleh gurunya dalam beberapa hal dan mulai memperluas penafsirannya terutama dalam masalah kemasyrakatan yang pada waktu itu sedang menghadapi kesuliran-kesulitan. Adapun latar belakang yang mendorong untuk memperluas bahasanya, khususnya tentang bahasan mengenai kemasyarakatan ialah; dia adalah wartawan yang banyak berkomunikasi dengan masyarakat, yang berbeda-beda asal dan tingkat kehidupannya, melalui majalah yang dipimpinnya. Dia berkata dalam al-Manar: “setelah saya bebas dari bekerja , yaitu sesudah era Muhammad Abduh, mulailah saya menyimpang dari metode yang ditempuh oleh Muhammad Abduh, yaitu dengan memperluas penggunaan sunnah sahih dalam menafsirkan Al-Qur’an, atau dengan memperluas penelitian mufradatnya atau struktur bahasanya, dan juga mengenai masalah khilafiyah dan hal-hal yang sangat diperlukan oleh kaum Muslimin untuk mencari petunjuk dan memecahkan masalah kemasyarakatan yang begitu kompleks. Rasyid Ridha sendiri, seperti yang ditulis Syahatah, mempunyai beberapa karateristik dalam penafsirannya, yaitu penekanan kepada penelitian ilmiah, pengaruh kitab tafsir Ibn Katsir, pengaruh Imam al-Ghazali dan memberikan ulasan yang lebih luas dan kajian mengenai sunnah al-ijtima’iyah.

Ada beberapa perbedaan yang menonjol antara penafsiran Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha, setelah Ridha menulis Al-Manar atas usahanya sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut:

  1. Keluasan Pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi.
  2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
  3. penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.30
  4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

Pengaruh Ibn Kasir terhadap Rasyid Ridha antara lain dengan memperbanyak penggunaan hadis dalam penafsirannya. Karena itu, beliaulah yang sebenarnya yang memberi corak al-ma’tsur kepada Tafsir al-Manar. Berbeda dengan gurunya, Rasyid Ridha banyak mengetahui tentang rijal al-hadis, sehingga ia berbeda dengan gurunya, yang kadang-kadang menolak hadis meskipun sahih hanya karena tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Kendati demikian pengaruh Ibn Katsir yang banyak menggunakan hadis dalam penafsirannya tidak seluruhnya tampak pada Rasyid Ridha, terutama dalam menghadapi ayat-ayat yang membahas masalah mukjizat nubuwah, sebab ia lebih banyak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan sejarah dan menimbulkan problem ilmiah dan logika, atau ia juga dapat membantahnya dengan mengajukan dan menjelaskan ayat lain. Tapi bila al-Qur’an menjelaskan secara tegas bahwa mukjizat tertentu ada pada seorang nabi, maka ia dapat menerima sepenuhnya.

4. Contoh Penafsiran Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar


Contoh yang dikemukakan di sini adalah penafsiran Rasyid Ridha terhadap surat Al-an’am 32, yang artinya:

“dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka”
Rasyid Ridha memulai uraiannya dengan menerangkan bahwa Al-La’ibu (permainan) adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat atau mencegan madharat”31 sedang Al-Lahwu “adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan lengahnya seseorang dari pekerjaannya yang lebih bermanfaat dan penting”, sehingga dengan demikian segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan adalah Lahwun.32

Selanjutnya, dukutipnya pendapat Ar-Raghib Al-Asfahani serta pengarang kitab Lisan Al-Arab (Ibnu Manzur) kemudian disusul dengan kesimpulan sementara bahwa Al-Lahwu jika disebutkan tanpa dibarengi oleh suatu kata, maka ia berarti segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya atau kesedihan-kesedihannya; kesibukan tersebut dapat berupa permainan, nyanyian, atau apa saja yang mendatangkan kegembiraan.
Pengertian ini menurut Rasyid Ridha selanjutnya dapat lebih luas lagi sehingga ia terkadang berarti segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan walaupun bukan dengan tujuan menyibukkan diri dari sesuatu yang lebih penting dan berguna. Untuk pengertian yang luas ini Rasyid Ridha mengutip sajak Umru’ul Qais:
Ala Za’imat bisabasati al-yaumi annani
Kaburtu wa an la yuhsinna al-lahwa amtsali

Kata Al-Lahwu dapat pula diartikan dengan menyibukkan diri dari suatu persoalan penting ke persoalan lainnya walaupun untuk maksud ini biasanya digunakan kata kerja bukan mashdar (kata jadian) seperti firman Allah dalam surah ‘Abasa: 10:

Setelah Rasyid Ridha menjelaskan arti kata tersebut, dia beralih untuk menafsirkan ayat Al-An’am 29 yang menggunakan kata-kata jadi, penjelasan yang cukup panjang dibarengi dengan mengutip sajak-sajak Abu Thayyib Al-Mutanabby dan Abul ‘Ala’ Al Ma’ary, kemudian disusul dengan membandingkannya dengan ayat-ayat surah Muhammad 36, Al-Hadid 20 dan Al-Ankabut 63, dengan menyatakan bahwa dalam ayat Al-‘Ankabut, Tuhan mendahulukan Al-Lahwu daripada Al-La’ibu sedang dalam ayat yang lain sebaliknya.

Menurut Rasyid Ridha, sebagian besar mufassir tidak memberikan perhatian menyangkut perbedaan redaksi tersebut karena mereka beranggapan bahwa huruf wa (dan) hanya sekedar “menghimpun antara apa yang disebut pertama dengan yang disebut sesudahnya” tanpa mengandung suatu rahasia mengapa kata ini didahulukan atau dikemudiankan.
Menyangkut hal ini dikutipnya pendapat-pendapat Al-Alusy, Al-Khatib Al-Iskafy, kemudian dikemukakan pandangannya.
Menurut Rasyid Ridha, mencari rahasia didahulukannnya Al-La’ibu atau Al-Lahwu tidaklah merupakan hal yang sulit, bahkan tidak perlu dipertanyakan karena hal tersebut merupakan urutan-urutan kronologis yang wajar bagi kehidupan manusia seperti yang dijelaskan dalam ayat 20 surah Al-Hadid:

“bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak”

Ayat ini bermula dengan Al-La’ibu karena hal itulah gambaran dari karena hal itulah gambaran dari permulaan perkembangan dan pertumbuhan manusia sebagai bayi, yang merasakan lezatnya permainan walaupun ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Setelah itu disebutkan Al-Lahwu karena hal itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang telah memiliki sedikit pikiran, bukan oleh seorang bayi. Setelah itu disusul dengan al-zinatu (perhiasan) karena yang demikian itulah sifat remaja, setelah itu Tafakhoru (berbangga-bangga) karena itulah sifat pemuda dna diakhiri dengan Takatsuru di al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta/anak) karena itulah sifat orang dewasa.33
5. Penutup
Dari pembahasan tentang metodologi dalam penafsiran Al-Manar di atas, ada beberapa hal yang menarik perhatian, yaitu:

  1. Baik Muhammad Abduh sebagai peletak dasar maupun Rasyid Ridha sebagai pengembang Tafsir Al-Manar, mengutamakan pemhaman rasional dan kebebasan akal dalam penafsirannya.
  2. Abduh banyak terpengaruh oleh faham Mu’tazilah, yang berimbas juga kepada muridnya Rasyid Ridha.
  3. Ada beberapa perbedaan yang ditemukan dalam penafsiran Abduh dengan Ridha, yakni : Keluasan Pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi, Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain, penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang, Keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

Demikian pembahasan meneganai metodologi penafsiran Abduh dan Ridha dalam Tafsir Al-manar ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Adawy, Ibrahim Ahmad Rasyid Ridha: Al-Imam Al-Mujahid, Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964.
Al-Faramawy, Abd. Al-Hay Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdu’iy, Kairo: Al-Hadharah Al-‘Arabiyah, 1977.
Amin, Utsman, Muhammad Abduh, (D.C.: American Council of Learned Societies, 1953), hal. 3.
Haddad, Yvonne Yazbeck. dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Penerbit Mizan
http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-al-manar.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha
http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=28
Keddie, Nikki R. dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Penerbit Mizan.
Ridha, Sayyid Muhammad Rasyid, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, Juz I. Mesir: Percetakan Al-Manar, 1931.
Shihab, M. Quraish Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah.

Tinggalkan komentar